JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID – Ketua Dewan Pengawas Himsataki, Yunus Yamani, mengingatkan Menteri Perlindungan Pekerja Migran, Abdul Kadir Karding dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono, agar berhati-hati dalam menyusun dan menandatangani perjanjian kerja sama terkait penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor domestik, khususnya dengan negara-negara Timur Tengah.
Peringatan ini merujuk pada perjanjian serupa yang telah ditandatangani pada tahun 2014 antara Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Muhaimin Iskandar dan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang diwakili oleh Menteri Tenaga Kerja Adel M. Fakih.
Isi Perjanjian 2014: Ada Kemajuan, Tapi Banyak Catatan
- Tujuan Perjanjian
Perjanjian tersebut bertujuan memperkuat perlindungan hak-hak TKI dan memastikan pengaturan kontrak kerja sesuai dengan hukum yang berlaku di kedua negara. - Kewajiban Masing-Masing Negara
Dalam Pasal 2 hingga 4, disebutkan secara rinci bahwa kedua negara berkewajiban menyediakan pelatihan, menjamin perlindungan dokumen pribadi, dan membentuk sistem bantuan darurat 24 jam bagi para TKI. - Penegasan Standar Kontrak Kerja
Perjanjian mengharuskan kontrak kerja memuat klausul penting, seperti jenis pekerjaan, lokasi kerja, upah, cuti, dan waktu kerja, untuk mencegah praktik kerja eksploitatif. - Pelatihan dan Edukasi Budaya
Pemerintah Indonesia diwajibkan memberikan pelatihan pra-penempatan, termasuk pengetahuan tentang budaya dan kebiasaan sosial di Arab Saudi, guna mencegah kesalahpahaman. - Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Pasal 6 sampai 9 mengatur mekanisme penyelesaian sengketa dan amandemen perjanjian secara rinci, yang menunjukkan keseriusan kedua pihak dalam menindaklanjuti implementasi di lapangan.
Kritik Terhadap Perjanjian : Perlu Revisi dan Penguatan
Meski memuat poin-poin penting, Yunus Yamani menyampaikan, sejumlah catatan kritis terhadap kelemahan dalam perjanjian tersebut, antara lain:
- Tidak Ada Sanksi Tegas
Tidak terdapat pasal yang mengatur sanksi konkret bila salah satu pihak melanggar kesepakatan, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. - Diksi Terlalu Lunak
Banyak poin menggunakan kata-kata seperti “berupaya” dan “memfasilitasi” yang bersifat imbauan, bukan kewajiban mutlak. - Tidak Ada Mekanisme Pengawasan Independen
Tidak disebutkan adanya sistem audit atau pengawasan berkala dari pihak ketiga atau asosiasi seperti P3MI atau PPTKIS.
- Kompensasi untuk Korban TKI Tidak Diatur Jelas.
Perjanjian hanya menyebut TKI dapat menuntut kompensasi, namun tidak dijelaskan mekanismenya dan siapa yang akan membantu dalam proses hukum.
- Rentang Usia TKI Terlalu Sempit.
Batas usia calon TKI 21–55 tahun dinilai terlalu membatasi. Bagaimana dengan TKI yang telah terampil namun belum berusia 21 tahun?
Rekomendasi Perbaikan : Agar Perlindungan Lebih Nyata,
Yunus Yamani mengusulkan sejumlah perbaikan untuk mencegah pengulangan kelemahan serupa dalam perjanjian ke depan :
- Tambahkan mekanisme pengaduan yang mudah diakses secara online maupun langsung, termasuk melalui aplikasi pengaduan.
- Gunakan kata kerja yang tegas seperti “wajib” dalam setiap poin kesepakatan.
- Libatkan asosiasi P3MI sebagai pengawas pelaksanaan perjanjian secara berkala.
- Perjelas jalur hukum dan pendampingan konkret bila terjadi pelanggaran kontrak.
- Tambahkan kewajiban asuransi jiwa dan kecelakaan kerja bagi TKI.
- Revisi rentang usia calon TKI agar lebih inklusif dan fleksibel.
“Kami harap Pemerintah Indonesia lebih cermat dan tegas dalam menyusun perjanjian baru, agar TKI kita benar-benar mendapatkan perlindungan maksimal di negara penempatan,” harap Yunus.(ARMAN R)