Daerah

MACET

Oleh Salman

“Op op. Gak bisa lewat pak! “, teriak Bapak paruh baya menyetop mobil kami yang mau memotong mobil van berhenti. “Ada truk mogok pas di jalan yang diperbaiki”.

Pak JG yang mengemudi merespon dengan mengendurkan injakan pedal gas, memijak rem dan menjulurkan kepala keluar. Setir diluruskan kembali mengarahkan persis dibelakang mobil van.

“Gak bisa lewat ya pak? “, ucap Pak JG ke Bapak paruh baya tadi mau meyakinkan sekali lagi.

“Iya, mogok pula disitu. Kek mana mau lewat, disebelahnya longsor sudah separo jalan. Jurangnya dalam kali pulak itu”, jelas si-Bapaknya seperti mengomel sendiri.

Pak JG dan Aku diam saja. Mencoba memaklumi situasi.

Memang jalan dari Sumbul-Merek rawan longsor yang mengganggu perjalanan. Bahkan sampai pada titik membahayakan.

Sepanjang jalan akan disuguhi hutan rimba yang menyejukkan dan memanjakan mata. Pohon dan semak belukar khas geopark kaldera Toba tersaji gratis dari Illahi, penata alam semesta.

Udaranya segar, jalan berliku turun naik sangat membahagiakan. Bolak-balik seperti healing gratis.

Ditambah lagi view Danau Toba yang luar biasa. Akan bikin candu bagi para penikmat perjalanan.

Kendaraan melaju dengan kaca yang terbuka, membiarkan angin dingin berhembus mengibar-ngibarkan rambut para penumpang.

Namun para supir harus hati-hati. Ditengah perjalanan yang melenakan ada ruas yang tiba-tiba amblas. Tidak tanggung-tanggung, ada tujuh titik berbahaya yang perlu pengaturan khusus untuk menjaga kelancaran lalu lintas.

Seringkali relawan dadakan muncul seketika dititik jalan longsor menggantikan peran petugas resmi. Mereka akan memasang rambu-rambu seadanya, sekenanya. Ada ranting kayu yang didirikan, ban yang ditumpuk atau lakban yang dibentang menandai bagian yang tidak boleh dilintasi.

Mereka siang malam menjaga dengan lintasan berbahaya itu. Bergantian shift siang dan malam. Saking lamanya “bertugas”, karena jalan yang tidak kunjung diperbaiki, mereka membuat pondok untuk tempat peristirahatan. Mereka berpenghidupan disana.

Yap, mereka tidak sepenuhnya relawan. Setiap kendaraan yang lewat akan diacungkan tangguk pertanda memohon sumbangan.

Ya, begitulah setiap ada longsoran baru akan potensi rezeki bagi sebagian orang, pikirku.

Tak lama, kulihat ada pick-up putar dan balik arah.

“Putar-putar. Gak bisa lewat”, teriak supir mengumumkan tanpa diminta saat melewati mobil yang antri. Suaranya semakin tak jelas dan hilang seiring dengan menjauhnya pick-up.

Seketika muncul ragu dalam hati. Balik atau bertahan menunggu. Kami berpandangan saling bertanya dalam hati.

“Coba kucek kesana dulu ya, pak”, ujar Pak JG mengambil inisiatif.

” Ayoklah. Aku ikut”, timpalku.

Tak perlu menunggu ambil kesepakatan, kami bergerak menuju sumber kemacetan.

Mobil dikunci, kami mengayunkan langkah bergegas. Sepuluh menit dibutuhkan melewati mobil yang mengular sampai ke titik tujuan.

Dari jauh tampak ada yang ganjil. Di depan tersaji pemandangan mobil yang bertumpuk. Berebut posisi dan mengisi celah jalan yang tersedia, tidak ada yang mau mengalah.

Semakin dekat, mulai tampak orang-orang saling berbicara dengan suara keras. Lebih tepatnya bertengkar.

Terdengar jelas teriakan, bantahan, bentakan. Entah dari mana sumber suara, yang pasti sangat seru dan hangat ditengah suhu yang mulai mendingin.

“Kaulah yang mundur. Aturannya dah bisa kita jalan dari tadi”, tunjuk anak muda ke lawan bicaranya tidak sopan.

Lawan yang ditunjuk merah mukanya. Umurnya lewat setengah baya menyebabkannya mudah tersinggung. Dari rambut putihnya, kerut di dahi, pipinya yang sudah turun dikira berusia menjelang 60 tahun.

“Sopan kau sikit. Sudah tua aku. Jangan kek gitu kau”, balasnya sengit. ” Aku duluan sampai sini. Kau lihat sendiri kekmana mau mundur, di belakang pun dah rame kali”.

“Kau pun kenapa potong jalan! Gak kau lihat orang pada berenti dan antri. Kau sosor terus jalan ini. Gak kau aja yang mau cepat”, meledak si anak muda gak peduli lagi kesopanan.

“Kalau sudah begini kek mana lah ini!. Truk puki*ak ini ntah kenapa pula teporosok”, serunya sambil berbalik menendang bamper depan. Dia kesal dan marah membabi buta.

“Sudahlah lae, tenang-tenang”, ucap pria disampingnya. ” Kita cari solusi”, Sambungnya.

“Solusi kau, bilang. Kekmana mau jalan kalau mobil si Tua itu ngalangin jalan. Kalau gak ingat umurnya sudah kupukuli dia itu”, si pemuda makin nyolot.

Semakin banyak orang nimbrung.

Si orang tua menjawab dan ikut marah. Penonton sedari tadi diam ikut berkomentar. Suasana jadi gaduh.

Seketika kata-kata berebut masuk ke ruang telinga. Tidak ada kalimat lengkap yang ditangkap. Hanya kata yang berintonasi tinggi yang dapat dimengerti. Kata anjing, babi, bodat, lontong dan kalimat makian lainnya bergilir masuk cepat. Sisanya, kata yang saling beradu di udara menghasilkan dengung tak ada makna.

Mobil tidak bisa jalan, situasi tak kendali. Pertengkaran hebat berlanjut semakin menjadi. Bisa jadi berjam-jam tidak ada solusi.

Kami tinggalkan dialog keras dengan satu kesimpulan. Balik kanan, putar arah cari jalan alternatif.

Kawasan Lae Pondok yang seyogyanya sejuk menjadi gerah. Pertengkaran tak berkesudahan membawa awan panas.

Mari kita putar balik menuju Silahisabungan yang menawan, dipinggir danau toba yang rupawan.

Lae Pondom, 6 November 2024

Related Posts