“Cepek kan, bg?” tanya salah satu dari mereka saat ditagih ongkos oleh petugas di loket. Pertanyaan terlontar sambil menyodorkan uang pecahan 100 ribu.
Uang yang tersodor langsung disambar tanpa ada jawaban. Tidak sopan.
Dari kata cepek yang terdengar dan intonasinya dipastikan dia bukan orang Karo dan bukan dari Karo.
Mereka berempat duduk di bangku baris paling belakang. Sedangkan aku persis di depannya, di bangku tunggal diantara tiga bangku yang tersedia.
Tidak ada yang istemewa dalam perjalanan kali ini. Justru yang agak laen hari ini adalah aku ke Medan hanya numpang mandi dan balik lagi ke kabanjahe. Ya malam ini.
Bus trip terakhir, luncuran dari bandara Kualanamu. Full AC dengan kapasitas tempat duduk terbatas, walau AC-nya lebih cocok untuk daerah musim dingin. Angin yang keluar panas dan bikin gerah karena jendela tertutup mati.
Dengan kapasitas lima belas orang, seharusnya bus ini nyaman-nyaman saja.
Namun demi pemenuhan penumpang dua orang lagi, kenyamanan ini terganggu. Bus jadi ngetem lebih dari satu jam! Sama dengan waktu yang dibutuhkan menuju Berastagi di malam hari.
Bergeraklah bus sekira pukul sembilan malam lewat tujuh belas menit.
Dengan lampu temaram, musik lagu lawas Nike Ardilla melantun kencang. Antara menghibur dan mengganggu sulit dibedakan. Sebagian penumpang menggunakan earphone berusaha tidur, namun gagal.
“Nanti kita dibayar harian, Wak! Pulang kerja langsung dikasih di tempat. Gosah khawatir di PHP-in”, teriak salah satu diantara mereka ke yang lain dengan suara keras mengalahkan lagu mendayu-dayu.
“Nanti kalau kita bisa sepuluh goni, maka akan terima 110 ribu. Tapi untuk besok hari pertama kerja mungkin hanya dapat tiga sampai empat karung cuman,” jelas pria gondrong bertopi lusuh melanjutkan.
“Kita kan harus menyesuaikan kerja dulu. Kalau dah dapat caranya, baru kita gas. Paling dua-tiga hari dah dapatnya itu,” katanya menjelaskan tanpa diminta.
“Pokoknya, asal masih tampak kita isikan terus. Jangan berenti sebelum gelap”, timpal kawannya yang lain. Tak tau aku yang mana yang bicara.
Sepertinya mereka berempat akan bekerja di perladangan jagung yang sedang panen. Tugasnya memanen, mengupas kulit, memasukkan ke dalam karung mengangkut ke pinggir jalan. Di sana sudah menunggu toke pengepul untuk menimbang siap diangkut. Soal harga jual mereka tidak peduli.
“Kalau soal makan, kita bicarakan sama bos. Berapa kali makan dipotongkan dari upah. Jangan pula kebanyakan ya, tumpurlah kita,” ucap pria pa.
Kepalaku melengos-lengos mencari sumber suara setiap kata yang keluar samar karena ditimpali suara dari penyanyi yang meninggal Tahun 1995 itu. Sepertinya pemilik suara ini adalah agen atau penghubung mereka.
“Iya, gampangnya itu. Yang penting bagi kita ada yang mau kita isi. Tiga puluh gonipun sehari perorang kita sikat. Gosah lama-lama kalau kerja borongan,” ucap yang lain bersemangat.
Ya, kupastikan mereka ini adalah aron, pekerja bayaran yang biasanya terjadi di perladangan. Bisa untuk penggarapan lahan, menanam, merawat, memanen atau lainnya yang disuruh. Mereka ini adalah pekerja independen yang bekerja harian dan menerima upah.
Biasanya ada semacam agen penghubung antara aron dengan pemilik ladang, yang turut kecipratan untung.
Semua jenis perladangan sudah memakai jasa tenaga aron. Ladang wortel, kol, jeruk, jagung, selada, kentang dan banyak lagi jenis pekerjaan yang sudi mempekerjakan mereka.
Walau bias dari konsep awal, aron sebagai upaya kerjasama dalam pengolahan ladang menjadi jasa pekerjaan, bisnis aron menggiurkan. Minimal 100-200 ribu perhari didapat dan pekerjaan tiada habis, selalu ada.
Kadang dapat makan minum dari tuan pemilik ladang tanpa mengurangi upah. Asyik.
Kondisi ini membentuk pasar tenaga kerja harian setiap pagi. Yang terkenal pasar Laudah di Kabanjahe, stasiun di berastagi dan pasar di Tigapanah. Sisanya menyebar di beberapa titik di Kabupaten Karo.
Ribuan orang aron bergerak setiap hari dengan angkutan mobil bak terbuka menuju perladangan yang dijanjikan.
Aron berasal dari seluruh wilayah Sumatra Utara dari berbagai etnik. Ada yang musiman dan ada juga sudah menetap. Mereka mengadu nasib ke daerah perantauan Karo untuk memperjuangkan hidup. Demikianlah, hidup memang perlu diperjuangkan.
Sepertinya mereka berempat adalah yang musiman. Kehadiran mereka mengisi kekurangan tenaga kerja di Tanah Karo yang tidak mau lagi di pegang oleh masyarakat Karo sendiri.
Apakah kekurangan tenaga ini memang kurang jumlah? Belum tentu. Masih banyak masyarakat kita yang hilir mudik mengukur jalan, tapi kerja ke ladang tidak mau. Kenapa itu, siapalah yang tahu.
Bus berjalan membelah gelap malam. Musik makin kencang, jalan bus biasa saja. Asap rokok sopir mengepul deras.
Penumpang tidur-tidur ayam. Lagu berganti jadi serba-serbi lagu Karo populer diawali lagu Sayang Kel Aku Narta Siregar, Masuk Angin versi baru dan berlanjut sampai satu album.
“Ya, dek. Gak tau abang dah dimana ini. Keknya sudah mau sampai,” tiba-tiba ada suara keras di belakang. Diduga menjawab telponan dari istri salah satu dari mereka.
“Udah dulu ya. Dah gak tahan abg. Sudah muntah-muntah dari tadi,” terdengar suara mengakhiri percakapan.
“Pinggir sekali, pir,” terdengar lagi suara dari belakang. Bus berhenti di RS. Efarina Etaham Berastagi. Mereka turun satu persatu.
Sepuluh menit kemudian tiba pemberhentian terakhir, terminal kelas C Kabanjahe.
Waktu menunjukkan pukul 22.51 WIB. Terminal sepi tapi Kabanjahe masih berdenyut, lampu masih kerlap kerlip. Mari kita ayunkan alat transportasi alami kita, kaki mandraguna.
Penulis
Salman
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wil IV