JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID – Saya, Nursalim (Waketum SPMI-PP), menyampaikan pernyataan akademis sebagai respons terhadap pandangan Saudara Ali Nurdin yang menyatakan bahwa usulan pembubaran Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) didukung oleh data empirik, praktik internasional, serta prinsip good governance. Meskipun saya menghargai argumentasi tersebut, sejumlah aspek perlu ditempatkan dalam kerangka akademik yang lebih komprehensif, metodologis, dan berbasis bukti yang dapat diverifikasi.
Pernyataan ini bertujuan memberikan kajian alternatif yang lebih berimbang bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan publik.
- Validitas Data: Prinsip Evidence-Based Policy Harus Dipenuhi
Ali Nurdin mengutip beberapa data, antara lain:
19.200 kasus pelanggaran PMI (2020–2024),
70% kasus terkait proses rekrutmen dan penempatan swasta,> 300 P3MI terlibat pelanggaran administratif/pidana,
53% kasus PMI berasal dari kesalahan rekrutmen swasta,
1.350 kasus human trafficking berbasis migrasi.
Dari perspektif akademik, evidence-based policy menuntut:
a. Aksesibilitas Sumber Data
Data harus berasal dari:
laporan tahunan BP2MI yang dapat diakses publik,
laporan penelitian LSM seperti Migrant CARE yang telah dipublikasikan,
dokumen hukum terkait putusan MK,
dataset internasional IOM/ILO.
TANPA akses publik terhadap data mentah, angka-angka tersebut hanya berstatus klaim, bukan bukti ilmiah.
b. Reliabilitas dan Metodologi
Analisis akademis memerlukan informasi:
metodologi pengumpulan data,
klasifikasi jenis pelanggaran,
konsistensi antar-tahun,
validitas antar-lembaga.
c. Relevansi Kausalitas
Hubungan antara “pelanggaran” dan keberadaan P3MI tidak otomatis kausal.
Kajian kausal memerlukan analisis:
faktor ekonomi,
kebijakan negara tujuan,
infrastruktur pelatihan,
legal certainty kontraktual.
Tanpa analisis tersebut, policy recommendation berupa “pembubaran” belum memenuhi standar ilmiah causal inference.
- Pembubaran P3MI: Analisis Kebijakan Publik dan Desain Kelembagaan
Dalam literatur public administration, usulan penghapusan lembaga (organizational abolition) memiliki risiko yang harus dianalisis melalui institutional impact assessment:
a. Capacity Gap Pemerintah
Jika negara mengambil alih seluruh fungsi inti migrasi, diperlukan:
peningkatan signifikan SDM publik,
penyesuaian anggaran,
pembentukan unit inspeksi,
penguatan sistem digital migrasi.
Kajian kapasitas belum disampaikan oleh Saudara Ali.
b. Transitional Governance
Negara-negara yang disebut Ali (Filipina, Korea Selatan, Jepang, Kanada) melakukan reformasi melalui model bertahap (phased transformation).
Dalam comparative public policy, pembubaran total lembaga swasta tanpa transition blueprint menimbulkan:
migrasi ilegal karena bottleneck,
backlog berbulan-bulan,
meningkatnya biaya migrasi karena inefisiensi negara,
risiko regulatory vacuum.
c. Kompleksitas Ekosistem Migrasi
Ekosistem migrasi melibatkan:
lembaga pelatihan,
medical check-up,
verification agency negara tujuan,
job-matching system,
diaspora network.
P3MI merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dihapus tanpa mengubah ekosistem secara menyeluruh.
Dengan ketiadaan impact assessment, usulan pembubaran masih bersifat normatif, belum operasional.
- Perbandingan Internasional: Harus Kontekstual, Bukan Adopsi Mentah
Ali Nurdin mengutip praktik negara lain. Namun analisis akademik perlu menempatkan setiap model dalam konteks:
a. Filipina (POEA)
POEA bukan pengganti sektor swasta.
Filipina justru memiliki ribuan accredited agency yang beroperasi di bawah supervisi ketat negara.
b. Korea Selatan (EPS Program)
EPS adalah government-to-government system yang sangat terpusat — tetapi tidak berlaku untuk semua skema migrasi.
c. Jepang dan Jerman
Kedua negara ini memiliki hybrid system:
pemerintah mengatur standar ketat,
swasta menjalankan proses teknis.
Maka menarik kesimpulan bahwa negara-negara ini “menghapus” peran swasta tidak tepat secara akademis.
- Solusi Akademis yang Lebih Proporsional
Alih-alih pembubaran, pendekatan berikut lebih sesuai dengan standar akademik dan praktik good governance:
a. Regulatory Re-engineering
Melakukan rekonstruksi regulasi melalui:
harmonisasi UU 18/2017, PP 59/2021, dan aturan BP2MI,
eliminasi tumpang tindih norma,
pembuatan single regulatory body.
b. Re-lisensing Nasional P3MI
Melakukan “pembersihan struktural” melalui:
audit integritas,
penilaian kinerja berbasis indikator,
pencabutan izin permanen bagi pelanggar.
Ini lebih efektif daripada pembubaran total.
c. State Control Model
Fungsi inti negara diperkuat:
verifikasi kontrak,
penentuan biaya,
pengawasan perjanjian kerja,
penindakan hukum lintas daerah.
Sementara sektor swasta tetap menjalankan fungsi teknis non-kebijakan.
d. Pembentukan Badan Pengawas Independen
Melibatkan:
BP2MI/KP2MI
Ombudsman,
Akademisi,
Serikat PMI,
LSM migran,
pelaku usaha.
Model ini terbukti efektif dalam multi-stakeholder governance di berbagai negara.
- Penutup: Kritik Saya Bertujuan Akademis, Bukan Konfliktual
Saya mengapresiasi usaha Saudara Ali untuk menggunakan data dan praktik internasional sebagai dasar usulan kebijakan. Namun, untuk memastikan kualitas kebijakan:
data harus dibuka dan dapat diverifikasi publik,
analisis kausal harus memenuhi standar ilmiah,
perbandingan internasional harus kontekstual,
rekomendasi harus disertai impact assessment.
Tujuan saya bukan memperdebatkan personal, melainkan memastikan bahwa reformasi tata kelola migrasi berjalan secara metodologis, terukur, dan tidak menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja migran Indonesia.
Saya siap berkolaborasi dalam forum akademik, seminar kebijakan, maupun diskusi teknokratis untuk menyusun desain tata kelola migrasi yang lebih kuat dan berbasis bukti. (Nursalim)
Penulis adalah Pemerhati Tata Kelola Penempatan PMI (Mantan pendiri SBMI Brebes 2004-2010, Ketua Umum Keluarga Migran Indonésia 2010-2015, Manager Crisis Center Migrant Institute 2011-2017, Manager Advokasi PMI di Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa 2018-2021, Direktur Eksekutif Sahabat Pekerja Migran (SPM) 2021-2023, Waketum Garda BMI dan sekarang Waketum SPMI-PP
