Mengkritisi Kebijakan Pemerintah di Sidang ILC ke-113

JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID – Saat ini sedang berlangsung Konferensi Perburuhan Internasional atau International Labour Conference (ILC) ke-113 di Jenewa, Swiss, yang dibuka pada Senin, 2 Juni 2025 dan berakhir di tanggal 13 Juni 2025.

Konferensi yang diselenggarakan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) selama dua pekan ini mengangkat tiga isu utama yang menjadi perhatian dunia, yakni bahaya biologis di tempat kerja, pekerja platform digital, dan formalisasi pekerja informal.

Perlindungan dari Bahaya Biologis di Tempat Kerja khususnya tentang penguatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi prioritas dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung keberlangsungan usaha.

Namun Pemerintah masih belum bisa memastikan lingkungan kerja menjadi aman sehingga bisa menurunkan kecelakaan kerja termasuk Penyakit Akibat Kerja (PAK). Tren kecelakaan kerja di Indonesia menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat 298.137 kasus, meningkat menjadi 370.747 kasus pada tahun 2023, dan hingga Oktober 2024, jumlahnya telah mencapai 356.383 kasus.

Bahaya biologi di tempat kerja adalah risiko yang berasal dari organisme hidup atau zat yang dihasilkan oleh makhluk hidup yang dapat menyebabkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi pekerja, dan hal ini adalah PAK yang termasuk bagian dari kecelakaan kerja.

Bahaya biologis ini seperti Bakteri dan Virus, misalnya, pekerja di rumah sakit atau laboratorium bisa terpapar patogen seperti tuberkulosis atau hepatitis; Jamur dan Spora seperti Pekerja di gudang atau industri pertanian bisa menghadapi risiko alergi atau infeksi akibat paparan jamur; Parasit seperti yang ditemukan dalam air yang terkontaminasi atau pada hewan yang ditangani oleh pekerja peternakan; dan Produk Biologis termasuk toksin alami, seperti racun dari tumbuhan atau hewan.

Bahaya ini sering ditemukan di sektor kesehatan, pertanian, laboratorium, dan industri makanan. Perlindungan seperti penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), sanitasi yang baik, serta pelatihan keselamatan sangat penting untuk mengurangi risiko.

Upaya untuk menekan angka kecelakaan kerja (terkhusus PAK) terus dilakukan, termasuk penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) serta peningkatan budaya keselamatan di tempat kerja terutama dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap standar keselamatan yang berlaku, namun, kecelakaan kerja dan PAK tetap terjadi dan meningkat trennya.

Faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan ini adalah rendahnya peran pengawasan dan peneggak hukum kepada Perusahaan terkait K3 ini. Masih banyak Perusahaan memaknai K3 dan SMK3 ini sebagai beban biaya sehingga tidak serius memfasilitasi upaya mencegah K3 seluruh pekerjanya seperti menyediakan APD bagi pekerja.

Dan hal ini diperparah oleh persepsi salah Perusahaan yang menyatakan, kalau pun terjadi kecelakaan kerja atau PAK maka ada BPJS Ketenagakerjaan yang akan menjamin seluruh biaya perawatan dan berbagai santunan hingga beasiswa bila pekerja meninggal karena PAK tersebut. Persepsi salah ini yang menyebabkan pekerja sebagai subyek yang harus dilindungi menjadi tergerus. Pasal 86 dan Pasal 87 UU No.13 Tahun 2003 sudah sangat jelas mengatur tentang K3.

Tentang Pekerja platform digital, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia membuat regulasi bagi pekerja digital untuk menjamin kepastian kerja serta perlindungan yang setara.

Sudah sangat jelas dan tegas Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003 memposisikan seluruh pekerja (dalam hubungan kerja maupun di luar hubungan kerja termasuk pekerja kemitraan) menjadi subyek yang dilindungi dan disejahterakan. UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja lalai melindungi pekerja di luar hubungan kerja dan pekerja kemitraan berbasis digital, karena seluruh pasal di kedua UU tersebut hanya melindungi pekerja di dalam hubungan kerja.

Sebenarnya sudah ada perlindungan bagi pekerja kemitraan ini terkait jaminan sosial yaitu di Peraturan Presiden no. 109 tahun 2013 junto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan no. 5 tahun 2021 yang mewajibkan seluruh pekerja kemitraan digital ini mengikuti Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), dapat mengikuti program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).

Pada pasal 8 ayat (2) Perpres 109 tahun 2013 pekerja kemitraan berbasis digital dapat mengikut JHT dan JP, sementara Pasal 31 ayat (3) Permenaker no. 5 tahun 2021 mewajibkan pekerja kemitraan ikut JKK dan JKm, dan pada pasal 34 pihak penyedia jasa layanan melalui kemitraan (aplikator) wajib mendaftarkan pekerja kemitraan tersebut.

Namun yang terjadi saat ini, Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak serius memastikan kedua regulasi tersebut berjalan dengan baik. Masih banyak pekerja kemitraan digital yang tidak didaftarkan ke Program JKK dan JKm, demikian juga pekerja kemitraan belum bisa mengakses JP, sementara JHT sudah boleh.

Dan ini mengakibatkan pekerja kemitraan akan mengalami resiko sangat serius ketika mengalami kecelakaan kerja hingga meninggal pada saat bekerja, dan resiko menjadi miskin pada saat lanjut usia karena tidak memiliki Jaminan Pensiun.

Lima program Stimulus, yang salah satunya Bantuan Subsidi Upah (BSU) masih diberikan kepada pekerja formal semata, tidak melibatkan pekerja kemitraan digital sebagai penerimanya. Padahal pekerja kemitraan adalah peserta program JKK dan JKm juga, namun Pemerintah mendiskriminasi pekerja kemitraan mendapatkan BSU untuk mendukung daya beli mereka khususnya pada bulan Juni dan Juli.

Perlakuan Diskriminasi secara sengaja dilakukan pemerintah kepada pekerja kemitraan, seperti tiga BSU ketika Covid19 lalu. Pekerja kemitraan justru sebenarnya sangat membutuhkan BSU tersebut karena mereka tidak memiliki upah tetap seperti yang dimiliki pekerja formal. Demikian juga pendapatan pekerja kemitraan sangat jauh di bawah pekerja formal, namun mereka tidak bisa merasakan dana APBN yang mereka sumbang juga melalui pembayaran pajak berbagai transaksinya.

Formalisasi pekerja informal seharusnya menjadi prioritas Pembangunan ketenagakerjaan Indonesia sehingga Pemerintah Indonesia mampu menciptakan kebijakan inklusif untuk memperluas cakupan perlindungan sosial dan peningkatan kompetensi kerja bagi pekerja informal. Selama ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) hanya menjanjikan tanpa memberikan kepastian. Janji-janji ini menjadi hal biasa terjadi.

Dari beberapa uraian di atas, saya berharap para delegasi RI khususnya dari unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) mengkritisi hal ini dan memberikan laporan pada sidang ILC ke-113 sehingga Pemerintah Indonesia cq. Kementerian Ketenagakerjaan memiliki rasa bersalah dengan ketidakmampuan Pemerintah menjalankan amanat berbagai regulasi di atas dan masih rendahnya kualitas pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan sehingga Kecelakaan kerja dan PAK masih banyak terjadi.

Demikian juga dengan kebijakan BSU yang diskriminatif kepada pekerja kemitraan, dan janji-janji tentang formalisasi sektor informal, harus juga menjadi catatan kritis SP/SB pada sidang ILC ke-113.

Memperjuangkan pekerja kemitraan berbasis digital menjadi pekerja tetap adalah baik, namun sangat baik juga bila SP/SB mengkritisi berbagai hal yang seharusnya dilakukan Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan seluruh pekerja kemitraan saat ini mendapatkan perlindungan dan kesejahteraannya. Yang sudah ada saja tidak dijalankan dengan baik, menjadi indikasi ketidakseriusan Pemerintah membicarakan tentang tiga isu di sidang ILC tahun ini.

Kita tunggu daya kritisi SP/SB di Sidang ILC ke-113. (Timboel Siregar)

Penulis adalah Pengamat Ketenagakerjaan dan Koordinator BPJS Watch

Pos serupa