JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID –
Kebijakan terbaru Direktur Jenderal (Dirjen) Penempatan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI( berupa Surat Edaran (SE) No. 715 dan No. 430 Tahun 2025, menuai gelombang penolakan.
Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK) menyatakan, kebijakan tersebut sebagai bentuk pemaksaan administratif yang tidak memiliki dasar hukum dan sarat dugaan kepentingan tersembunyi.
Kedua Surat Edaran tersebut mewajibkan Direktur Utama dan Kepala Cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk mengikuti sertifikasi manajemen risiko selama tiga hari dengan biaya Rp 6–7 juta per orang. Jika diterapkan ke seluruh P3MI dan kantor cabangnya, potensi dana yang terkumpul bisa mencapai Rp 38,5 miliar.
“Kami menduga kuat ini bukan sekadar kebijakan administratif. Ini proyek yang didesain untuk mengalirkan dana besar ke kelompok tertentu lewat penunjukan empat LSP tanpa mekanisme terbuka. Di tengah krisis industri migrasi, ini sangat tidak etis,” kata Amri Piliang selaku Wasekjen I Komnas LP-KPK dan praktisi hukum alumni Lemhanas RI, di Jakarta, Sabtu (31/5/2025)
Amri Piliang menilai Surat Edaran, secara yuridis, bukanlah instrumen hukum yang dapat memaksakan kewajiban atau memungut biaya dari badan usaha. Penunjukan empat Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) secara eksklusif dalam SE No. 715 juga menabrak prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Yang lebih janggal menurut Amri, SE No. 430 justru membolehkan pemilihan LSP secara bebas, menunjukkan kontradiksi internal dalam kebijakan dan membuka ruang spekulasi adanya “bagi-bagi kue” antar pihak tertentu
Ia menjelaskan, saat ini pelaku industri penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) menghadapi tantangan berat, seperti :
- Kewajiban deposito Rp 3 Miliar yang membebani perusahaan,
- Mandeknya penempatan ke Arab Saudi sektor domestik,
- Pasar Singapura dan Taiwan dikuasai jalur ilegal dan monopoli asing,
- Dugaan Pungli dalam pengurusan ID PMI yang dibiarkan terus terjadi di daerah.
Namun alih-alih merespons permasalahan ini, KP2MI justru menciptakan kewajiban tambahan yang menyedot dana besar tanpa kejelasan urgensi maupun manfaat langsung bagi perlindungan PMI.
“Dirjen Penempatan KP2MI seharusnya fokus membuka pasar kerja, memperbaiki sistem pelindungan, dan memberantas pungli. Bukan sibuk bikin proyek sertifikasi tanpa legitimasi,” ujar Amri.
Komnas LP-KPK lanjutnya, secara tegas meminta, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, untuk mencabut kedua surat edaran tersebut.
”Dilakukan audit proses penunjukan LSP dan sumber pembiayaannya. Melibatkan asosiasi P3MI resmi dalam perumusan kebijakan, bukan kelompok tak dikenal yang justru memfasilitasi jalur ilegal,” ucap Amri.
Menurutnya, rakyat tidak butuh seremoni. PMI tidak butuh proyek. Mereka butuh sistem migrasi yang bersih, cepat, murah, dan berpihak pada pekerja.
Ia menambahkan, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka telah berulang kali menyuarakan perang terhadap KKN.
Kasus KP2MI ini akan menjadi ujian awal: apakah kementerian benar-benar bersih, atau justru sedang menjadi ladang proyek baru. (Red)