Daerah

Dialog Malam

“Siapa yang menelepon, Pak?”, tanya istriku sambil melipat baju yang sudah kering.

HP kuletak di atas meja kayu bulat.

Tidak langsung kujawab. Kususun dulu kata-kata.

“Si Nita. Dia mengeluhkan anaknya yang mulai berani melawan. Tadi siang dia jadi gaduh gegara kereta. Stres dia sekarang”, jelasku tanpa menceritakan detil apa yang sebenarnya terjadi.

“Mudah-mudahan tidak ada pertanyaan lagi”, gumamku.

Saat ini aku mengkhawatirkan kesehatan istriku. Akhir-akhir ini gulanya naik. Tidak usah dulu dengar masalah-masalah berat.

Tiga puluh menit Nita curhat tentang perubahan anak semata wayangnya. Dia menduga itu karena pengaruh lingkungan.

“Apalah Bapak bilang?”, tanya istri tanpa menoleh. Tangannya terampil mengurai tumpukan pakaian kering satu persatu.

“Ya, sabarlah menghadapi anak. Jangan pernah bentak dan berkata kasar. Nanti dia kecewa, gak mau lagi nurut. Jadi tambah payah masuk nasehat dan pengajaran”, jelasku sambil menyandarkan badan di kursi rotan. Jantungku berdegup kencang, nafas berat.

Hari ini terasa lelah.

Dari pagi Anak-anakku menelpon mengadukan bermacam masalah dan berbagai kebutuhannya. Serentak semua.

“Aturannya Bapak bilang ke dia, terlalu cepat anaknya dikasih HP. Suruh tarik saja dulu. Daripada kenapa-kenapa nanti”, ungkap istriku menyesali perlakuan Nita yang memanjakan anaknya.

“Malam ini Bapak makan buah saja ya”, tiba-tiba istri mengalihkan pembicaraan. Dia berdiri menuju kulkas di pojok dapur.

“Amri tadi siang juga nelpon. tanya Bapak dia. Kubilang Bapak masih di luar, Asar ke mesjid”, bilang istriku sambil meletak potongan buah dingin di meja. Ada melon, pisang dan buah naga.

“Dia bilang proyeknya cair. Terus dia nanya apa orang Mamak mau dibelikan kursi sofa baru”, lanjut istri sembari duduk menemani di kursi yang lain.

Memang kursi ini sudah tua. Sebagian rotan di sandaran dan tempat duduknya sudah lepas meninggalkan bolong di banyak tempat.

“Kubilang tidak usah. Kursi sice ini masih cukup untuk kita”, lanjutnya. Ada sesuatu yang dalam intonasi kata ini

“Sebenarnya kalau mau dibelikan, ya belikan saja. Tidak perlu tanya-tanya”, kesal istri. Akhirnya perasaannya meledak juga.

Kesal dengan situasi anak yang jauh dan seperti tidak peduli dengan kami.

Saat ada masalah dan ada perlu baru menelpon.

“Sudahlah Mak. Kita doakan saja mereka baik-baik. Supaya keluarganya sehat-sehat. Toh mereka itu anak-anak kita juga”, ucap ku berusaha menenangkan.

Istriku tertunduk. Jarinya menghadang air mata supaya tidak jatuh. Tapi jatuh jua.

“Sabar ya Mak. Sekarang mereka sudah punya kehidupan sendiri. Semoga saja kita tidak dianggap masa lalu, yang pantas dilupakan”, ucapku sedikit melow.

Tanpa sadar ucapan ini bukannya menenangkan, malah tangisnya semakin berurai.

Ku berdiri dan berjalan mendekat. Kuraih pundaknya dan kupeluk. Tanpa kata tangan mengelus punggungnya.

Buah potong belum tersentuh.

“Sebenarnya bukan perkara sofa yang kutangiskan Pak. Tadi Amri juga bilang di telpon, kalau mamak perlu-perlu uang, minta saja sama dia. Nanti akan dibantunya”, jelas mamak berlanjut.

“Dibantu? Minta?”, kataku membatin. Tersayat perih hati ini.

Aku lemas. Samar kudengar teriakan.


Penulis :
Salman
Kacabdis Wil IV Disdiksu

Related Posts