JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID – Kasus pemerasan yang bernuansa korupsi dalam proses penerbitan sertifikasi K3 yang menyeret Wamenaker Ebennaizer, telah memberikan gambaran betapa selama ini pengawasan ketenagakerjaan telah menjadi ajang transaksi antara sejumlah oknum pejabat di Kemenaker dengan kalangan Pengusaha dalam mendapatkan dokumen yang terkait dengan pelaksanaan norma ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan menjadi lahan basah bagi oknum – oknum yang menanfaatkan jabatan dan kewenangannya utk mendapatkan keuntungan pribadi dengan cara-cara melawan hukum.
Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan adalah sumber carut marutnya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Berbagai bentuk penyelewengan hukum terhadap hak-hak pekerja, namun segala bentuk penyelewengan tersebut “bisa diatur” utk dapat disesuaikan dengan keinginan pengusaha. Di sinilah, praktek jual beli hukum itu terjadi.
Para pengawas ketenagakerjaan yang semestinya bertanggung jawab untuk memastikan semua norma hukum ketenagakerjaan dijalankan dengan baik dan berjalan dengan baik, malah memainkan hukum. Sehingga segala bentuk pelanggaran hukum yang di lapangan, dibuat menjadi ’comply” dengan aturan yang ada. Untuk menyatakan comply ini, tentu ada harganya.
Ironisnya, dalam kasus korupsi yang terjadi di Direktorat Pengawasan Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), yang terjadi malah lebih parah, Pekerja yang diperas demi mendapatkan dokumen sertifikat K3 yang dibutuhkannya. Ini sudah benar-benar keterlaluan. Pengawas yang seharusnhya melindungi Pekerja, malah menindas Pekerja.
Peraturan Presiden No. 21 tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 20 ayat b, menyatakan dengan tegas bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengawas Ketenagakerjaan wajib tidak menyalahgunakan kewenangannya.
Namun, dalam prakteknya, tidak sedikit oknum pengawas yang berbuat curang, tidak profesional. Berbagai pelanggaran yang dilaporkan (khususnya oleh Pekerja maupun Serikat Pekerja), tidak ditindak lanjuti sebagaimana mestinya. Bahkan tidak ada laporan perkembangannya pengawasannya. Laporan menguap begitu saja.
Dalam mencegah praktek-prkatek yang tidak profesional semacam ini, kiranya perlu dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk semacam Komisi Pengawas Ketenagakerjaan yan langsung berada di bawah Presiden (bukan di bawah Menteri Ketenagakerjaan yang selama ini belangsung), yang tugas fungsi dan tanggung-jawabnya adalah mengawasi kinerja dari para pengawas sekaligus menjatuhkan sanksi terhadap pengawas yang nakal, yang melakukan praktek korupsi dan kolusi.
Komisi ini tidak berbeda seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial.
Diharapkan, dengan keberadaan komisi tersebut, para pengawas akan bekerja lebih berhati-hati dalam bekerja, lebih profesional dan berintegritas. (Saepul Tavip)
Penulis adalah Presiden OPSI (Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia)