JAKARTA, KLIK7TV.CO.ID – Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI Abdul Kadir Karding, menerima pengurus Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Pengelola Pelatihan Pekerja Migran Indonesia (DPP-P4MI), di Jakarta, Selasa (3/12/24).
DPP P4MI dipimpin Ketua Umumnya Lolynda Usman.
Menteri Abdul Kadir Karding, membuka pertemuan itu dengan menjelaskan kendala dan tantangan pelatihan yang dihadapi Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) saat ini. Salah satu masalah utama dari penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), adalah banyak pekerja yang berangkat tanpa keterampilan kerja dan keahlian bahasa asing.
“Dalam nomenklatur KemenP2MI nanti, ada Dirjen Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri. Direktorat ini lah yang nanti akan bertanggung-jawab membuat sistem pelatihan bagi Calon Pekerja Migran Indonesia, baik melalui BLK, LPK, maupun pendidikan vokasi,” terang Karding.
Karding kemudian bercerita tentang kerabatnya yang baru pulang bekerja dari luar negeri, kemudian memanfaatkan uangnya untuk membangun kos, dana menikah, serta membangun usaha studio fotografi.
“Padahal kerabat saya pekerja biasa saja yang belum punya keahlian khusus. Bayangkan jika menjadi pekerja dengan keahlian, pasti pendapatannya lebih banyak lagi,” ungkapnya.
KemenP2MI menurut Karding, punya kewajiban untuk membuat sistem pelatihan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) calon pekerja migran Indonesia sebelum berangkat, lalu membuat regulasi untuk mengatur teknis, seperti siapa penyelenggara pelatihan tersebut, dan bagaimana sertifikasinya.
“Sertifikasi bukan hanya di keahlian pekerja, namun BLK, LPK, bahkan pengajar harus punya akreditasi pula. Karena mereka yang akan melahirkan SDM-SDM baru yang berkualitas ke depannya. Saya berharap KemenP2MI dan Asosiasi Pelatihan (P4MI) dapat menjadi kawan,” harapnya.
Pada Kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP-P4MI, Lolynda Usman mengamini pernyataan Menteri bahwa pentingnya pelatihan sebelum berangkat kerja ke luar negeri. Menurutnya, penempatan pekerja dengan keahlian, sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang menambah penempatan skilled-worker.
“Menurut saya, pola pikir kita semua harus diubah. Pelatihan harus diutamakan, lalu berikutnya penempatan. Jika penempatan dijalankan secara masif, tapi pelatihan dijadikan prioritas nomor sepuluh, maka masalah eksploitasi pekerja migran Indonesia juga ikut masif juga,” ucap Lolynda.
Kendala yang dihadapi para pemilik Lembaga Pelatihan Kerja/Balai Latihan Kerja (LPK/BLK) saat ini, menurut Lolynda adalah kuota sertifikasi yang terbatas. Sertifikasi yang terbit dari LPK/BLK menggunakan anggaran negara yang hanya sebatas 1020 per tahun ini.
Sedangkan para pekerja yang lulus menurut Lolynda sejumlah sekitar 9000. Hal ini menimbulkan hambatan pengakuan sertifikasi bagi calon pekerja.
“Kami ingin mengusulkan agar Kementerian Pak Karding membuat regulasi sertifikasi mandiri, jadi tidak menunggu kuota dari anggaran negara. Jika regulasi yang kuat dibuat, akan menciptakan kemudahan bagi semua stakeholder, termasuk Calon Pekerja Migran Indonesia,” ujar Lolynda. (ARMAN R)