Jakarta, KLIK7TV.CO.ID – Wasekjen 1 Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan (Komnas LP-KPK) Amri Abdi Piliang menilai, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Beny Rhamdani, tidak paham sejarah tata kelola Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Kawasan Timur Tengah (Timteng).
Menurut Amri, adanya Moratorium (penghentian sementara) penempatan PMI sektor domestik atau informal ke negara kawasan Timteng bukan untuk menghalangi hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, tetapi demi memberikan perlindungan yang maksimal, karena banyaknya permasalahan yang timbul akibat penempatan yang tidak berbasis kompetensi dan minimnya perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia yang ditempatkan ke Kawasan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi,
Mulai dari kasus Casingkem, Ceriyati hingga negara harus membayar Diyat kepada pemberi kerja demi menyelamatkan PMI dari hukuman Pancung. Maka lahirlah Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) No.260 Tahun 2015 dan dicarikan solusi terbaik dengan membangun sistem perlindungan sesuai amanat Undang – Undang (UU) No.18 Tahun 2017 melalui Perjanjian Bilateral dengan Kerajaan Arab Saudi, maka lahirlah Kepmenaker No.291 Tahun 2018 yang mengatur sistem penempatan Satu Kanal (SPSK) dengan sistem komputerisasi bernama Sisko Siap Kerja yang terintegrasi dengan negara penempatan.
“Benny terlalu dini untuk menjustifikasi soal penempatan PMI melalui SPSK, 48 Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau P3MI yang terlibat dalam Kepmenaker No. 291 tahun 2018 melalui proses verifikasi bukan ditunjuk,” ujar Amri dalam rilisnya yang diterima Klik7tv.co.id, Sabtu (2/9/2023).
Kepala BP2MI dalam siaran persnya menyatakan bahwa P3MI yang terlibat dalam SPSK hanya mendapatkan keuntungan USD $.400 setara 1500 Real, keuntungan tersebut sesuai dengan UU No.18 tahun 2017 hanya dibolehkan P3MI mendapatkan keuntungan 1 bulan gaji.
Berbeda dengan penempatan G to G ke Korea Selatan yang nominalnya diduga bisa memperoleh puluhan juta uang siluman melalui LPK-LPK tujuan Korea yang disetor kepada oknum BP2MI. Jika dibuka untuk semua P3MI juga tidak akan bisa karena setiap penempatan PMI ke Arab Saudi harus memiliki injaz yang dikeluarkan oleh Kerajaan Arab Saudi,
“P3MI pemilik Injaz hanya 89 P3MI dari seluruh peserta yang diverifikasi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), kemudian diseleksi ada yang belum menambah deposito, ada yang telah dijual dan ganti pemegang saham dan direksi, ada pula yang sedang menjalani skorsing sehingga yang lolos dalam ujicoba pertama hanya 58 P3MI, namun sekarang tersisa 48 P3MI karena ada yang terlibat penempatan PMI ilegal/Non Prosedural dan bahkan ada yang masuk DPO serta dalam tahanan atau bermasalah hukum sehingga tidak memenuhi syarat kepmenaket No. 291 hal 12 Bab 3, justru yang termasuk monopoli adalah penempatan G to G,” jelas Amri.
Menurut Amri, saat SPSK dibentuk sejak Zaman Menaker Hanif Dakhiri, Benny Rhamdani bukanlah siapa-siapa dalam dunia tata kelola penempatan PMI.
“Jadi menurut saya penilaian Benny selaku Kepala BP2MI saat ini sebagai bentuk keterbatasan pengetahuan dia dalam tata kelola penempatan PMI ke Timur Tengah dan terlalu tendensius atau ada rasa kebencian dan menjurus kepada fitnah tidaklah berdasarkan fakta di lapangan, bahkan diduga turut menunggangi pendemo yang dibiayai oleh para bandar sindikat Mafia TPPO yang selama 13 tahun beraksi meraup keuntungan dari penempatan PMI ke Timur Tengah,” ujar Amri
Amri juga menjelaskan, bahwa SPSK bukan permanen ini hanya uji coba 6 bulan yang baru launching pada bulan Juli 2023 lalu yang sempat tertunda karena pandemi Covid-19, dan sewaktu-waktu bisa diubah oleh pemerintah.
“Apabila ada perbaikan/evaluasi, jadi bukan karena perjuangan Benny Rhamdani kepada Presiden, tetapi karena banyaknya laporan Penempatan Ilegal disebabkan ketidakbecusan Kepala BP2MI dalam menjalankan perintah UU No.18 Tahun 2017 tentang tata kelola penempatan dan perlindungan PMI oleh para NGO baik melalui media maupun surat tertulis kepada Presiden,” ucap Amri.
Ia menambahkan, dalam notulen Rapat terbatas dengan Presiden, Menkopolhukam, Menkoperekonomian dan Menaker sama sekali tidak menyinggung soal SPSK, yang ada membenahi ulang tata kelola penempatan sesuai UU No.18 Tahun 2017, karena adanya laporan pembebanan biaya penempatan terhadap PMI yang dilarang dalam pasal 30 UU No.18 Tahun 2017 dan adanya praktik penjeratan utang, serta banyak hal lain yang tumpang tindih antara aturan daerah dan pusat juga fungsi pemerintah daerah Propinsi, kabupaten kota dan Pemerintah Desa sesuai amanat pasal 39, 40, 41 dan 42 UU No.18 Tahun 2017 akan lebih dimaksimalkan, dan akan ada penganggaran biaya pelatihan untuk 2024
“Jadi menurut penilaian kami, Benny hanya numpang keren seolah dia yang mereview tata kelola penempatan PMI, Klaim-klaim Benny yang keren itu juga menyontek idea-idea dari tulisan-tulisan kami di media salah satunya oleh NGO Komnas LP-KPK terutama tentang penempatan yang harus berbasis kompetensi sehingga tidak seperti LPK-LPK yang melatih bahasa Korea yang menarik biaya kepada PMI mulai dari Rp 35 juta hingga Rp 95 juta padahal hanya kursus bahasa Korea, jelas hal ini patut diduga ada gratifikasi melalui oknum untuk mendapatkan Prelim dan lain sebagainya agar dapat segera diberangkatkan, belum lagi dana Fee yang diterima dari pemberi kerja kepada BP2MI,” ungkap Amri. (Red)